Mendekati Pilkada serentak periode pertama, di beberapa
daerah mengalami sebuah fenomena yang kerap disebut sebagai krisis tokoh atau
krisis pemimpin. Purbalingga mungkin dapat disebut sebagai satu dari sekian
kabupaten yang mengalami hal itu.
Sampai tahapan pendaftaran calon ditutup, hanya ada sepasang
bakal calon bupati yang mendaftar ke KPU setempat. Saat itu, banyak pihak di kabupaten
Perwira yang mulai khawatir. Mereka takut gelaran Pilkada di wilayahnya tak
jadi diselenggarakan. Sebab, dalam regulasi Pilkada serentak tidak dikenal
istilah calon tunggal.
Selain krisis calon, sebuah fenomena yang juga mencuat
adalah meningkatnya popularitas ‘Pemimpin Muda’. Istilah yang sebenarnya tak
tergolong baru di dunia politik maupun dunia gerakan.
Pemimpin muda ini mulai kembali santer saat Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Taufiq Kiemas, saat mengomentari nama-nama calon
presiden untuk pemilu 2014. Ia dengan enteng mengatakan, capres-capres tua,
Sadarlah!
Bagi Taufik Kiemas, capres lanjut usia mestinya memberi
ruang kepada tokoh-tokoh berusia muda. Dengan demikian, terjadi proses
regenerasi dalam dinamika politik Indonesia. Gagasan Taufik Kiemas ini didukung
pula oleh Amien Rais. Mantan Ketua MPR ini bahkan membatasi usia Capres harus
di bawah 60 tahun.
Sebelum Taufik, tren pemimpin muda ini juga mulai muncul
saat tokoh-tokoh semacam Joko Widodo, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Abraham
Samad terlihat sangat beringas dalam memerangi kinerja oknum birokrat yang
lamban.
Fenomena-fenomena tersebut secara tak disadari meresap ke
kepala publik kita. Hal ini memunculkan sebuah dikotomi baru antara golongan
tua dan muda. Bagi sebagian orang, kepemimpinan nasional di tangan kaum tua
sudah terbukti gagal. Sejak orde baru hingga sekarang, Indonesia praktis berada
digenggaman kaum tua. Sehingga, bagi sebagian orang itu, harus ada terobosan
radikal: memotong generasi tua.
Latar belakang tokoh-tokoh yang kebanyak berasal dari luar
birokrasi juga ikut andil dalam memperkuat dikotomi tua muda dengan stigma
baru. Yakni, bahwa birokrat terkesan lamban dalam menjalankan tugas. Tak hanya
itu, birokrat yang diidentikan dengan golongan PNS juga mulai mendapatkan kesan
miring.
Di Banyumas, masyarakat juga menginginkan pemimpin yang
lebih muda. Sebab, sebagian mereka sudah merasa jengah dengan pola kepemimpinan
lamban yang ada selama ini. Hal ini menjadi semakin kuat setelah seorang
pengamat politik lokal, Indaru Setyo Nurprojo mengungkapkan analisanya terkait
seperti apa seharusnya pemimpin baru Banyumas. Pemimpin macam apa yang dipercaya
mampu membawa Banyumas ke arah yang lebih baik.
Meski dikotomi tua dan muda terlihat cukup benar, ada satu
hal yang tidak boleh kita lupakan. Yakni, karakteristik, kemampuan dan pola pikir pribadi pemimpin muda tersebut.
Paling tidak, percuma saja jika usianya muda tapi ia dididik dengan cara-cara
kolot macam birokrat tradisional. Pola pikirnya pun tidak akan jauh berbeda
dengan mereka yang usianya 80 tahun.
Bagi saya pribadi ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh
pemimpin. Pemimpin, berapa pun usianya haruslah orang yang memiliki integritas.
Sebuah kata yang sekarang kerap menjadi hiasan pamflet-pamflet alat peraga
kampanye.
Pemimpin bagi saya juga harus memiliki landasan idealisme
yang kuat di kepala mereka masing-masing. Sebab, tanpa landasan yang kuat,
upaya mereka memperbaiki Banyumas tak akan berjalan lancar.
No comments:
Post a Comment