Monday, October 5, 2015

Dikotomi



Mendekati Pilkada serentak periode pertama, di beberapa daerah mengalami sebuah fenomena yang kerap disebut sebagai krisis tokoh atau krisis pemimpin. Purbalingga mungkin dapat disebut sebagai satu dari sekian kabupaten yang mengalami hal itu.

Sampai tahapan pendaftaran calon ditutup, hanya ada sepasang bakal calon bupati yang mendaftar ke KPU setempat. Saat itu, banyak pihak di kabupaten Perwira yang mulai khawatir. Mereka takut gelaran Pilkada di wilayahnya tak jadi diselenggarakan. Sebab, dalam regulasi Pilkada serentak tidak dikenal istilah calon tunggal.

Selain krisis calon, sebuah fenomena yang juga mencuat adalah meningkatnya popularitas ‘Pemimpin Muda’. Istilah yang sebenarnya tak tergolong baru di dunia politik maupun dunia gerakan. 
 
Pemimpin muda ini mulai kembali santer saat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Taufiq Kiemas, saat mengomentari nama-nama calon presiden untuk pemilu 2014. Ia dengan enteng mengatakan, capres-capres tua, Sadarlah!

Bagi Taufik Kiemas, capres lanjut usia mestinya memberi ruang kepada tokoh-tokoh berusia muda. Dengan demikian, terjadi proses regenerasi dalam dinamika politik Indonesia. Gagasan Taufik Kiemas ini didukung pula oleh Amien Rais. Mantan Ketua MPR ini bahkan membatasi usia Capres harus di bawah 60 tahun.

Sebelum Taufik, tren pemimpin muda ini juga mulai muncul saat tokoh-tokoh semacam Joko Widodo, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Abraham Samad terlihat sangat beringas dalam memerangi kinerja oknum birokrat yang lamban. 

Fenomena-fenomena tersebut secara tak disadari meresap ke kepala publik kita. Hal ini memunculkan sebuah dikotomi baru antara golongan tua dan muda. Bagi sebagian orang, kepemimpinan nasional di tangan kaum tua sudah terbukti gagal. Sejak orde baru hingga sekarang, Indonesia praktis berada digenggaman kaum tua. Sehingga, bagi sebagian orang itu, harus ada terobosan radikal: memotong generasi tua.

Latar belakang tokoh-tokoh yang kebanyak berasal dari luar birokrasi juga ikut andil dalam memperkuat dikotomi tua muda dengan stigma baru. Yakni, bahwa birokrat terkesan lamban dalam menjalankan tugas. Tak hanya itu, birokrat yang diidentikan dengan golongan PNS juga mulai mendapatkan kesan miring.

Di Banyumas, masyarakat juga menginginkan pemimpin yang lebih muda. Sebab, sebagian mereka sudah merasa jengah dengan pola kepemimpinan lamban yang ada selama ini. Hal ini menjadi semakin kuat setelah seorang pengamat politik lokal, Indaru Setyo Nurprojo mengungkapkan analisanya terkait seperti apa seharusnya pemimpin baru Banyumas. Pemimpin macam apa yang dipercaya mampu membawa Banyumas ke arah yang lebih baik.

Meski dikotomi tua dan muda terlihat cukup benar, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan. Yakni, karakteristik, kemampuan dan  pola pikir pribadi pemimpin muda tersebut. Paling tidak, percuma saja jika usianya muda tapi ia dididik dengan cara-cara kolot macam birokrat tradisional. Pola pikirnya pun tidak akan jauh berbeda dengan mereka yang usianya 80 tahun.

Bagi saya pribadi ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pemimpin. Pemimpin, berapa pun usianya haruslah orang yang memiliki integritas. Sebuah kata yang sekarang kerap menjadi hiasan pamflet-pamflet alat peraga kampanye. 

Pemimpin bagi saya juga harus memiliki landasan idealisme yang kuat di kepala mereka masing-masing. Sebab, tanpa landasan yang kuat, upaya mereka memperbaiki Banyumas tak akan berjalan lancar. 

Pemimpin juga harus memiliki kemampuan untuk mendengarkan rakyatnya. Percuma jika pemimpin muda tak mau turun dan berinteraksi dengan rakyat-rakyatnya.  Terakhir, pemimpin harus mau bekerja. Bagi saya, bekerja tak sebatas blusukan macam Jokowi atau Ahok. Bekerja dengan benar sesuai sumpah yang mereka nyatakan dengan tegas saat dilantik.

No comments:

Post a Comment