Dahulu kala, saat Indonesia baru belajar mbrangkang setelah lahir dari rahim
kolonial, Proklamator Bangsa, Bung Karno mengeluarkan sebuah ungkapan ‘Politik
Adalah Panglima’. Pernyataan ini membuat banyak orang mendalami bermacam
idealisme.
Pengetahuan mendalam tentang paham-paham di dunia tersebut
lah yang akhirnya menyatukan beberapa buah pikir tokoh nasional dalam Pancasila
dan UUD 1945, dua manifes yang menjadi dasar bangsa kita, Indonesia. Tak hanya
itu, pernyataan Bung Karno juga menyuburkan tanaman isme-isme di Indonesia.
Imbasnya, muncul lah tokoh-tokoh progresif yang memiliki pemikiran kuat.
Pascaera Bung Karno, politik tak lagi menjadi panglima.
Adalah pembangunan yang dibawa oleh Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia.
Geliat pembangunan infrastruktur ini merubah wajah bangsa.
Tak hanya itu, geliat ini pun meminggirkan mereka-mereka
yang mendewakan olah pikir. Isme-isme yang masuk atau sudah ada di
Indonesiamulai dibatasi, baik penyebaran maupun pembatasan. Penggila isme-isme
tertentu bahkan tak hanya dipinggirkan, tak sedikit dari mereka yang terpaksa
angkat kaki dari tanah pertiwi.
Geliat pembangunan, juga membuka pintu untuk satu hal yang
akhirnya menjadi panglima baru di Indonesia, investasi. Kenapa? karena
pemahaman pemimpin bangsa saat itu, adalah bahwa pembangunan infrastruktur
dapat dilakukan jika ada duit dari para investor.
Pintu-pintu mulai terbuka lebar, perusahaan multi nasional
dari seberang samudra pun memulai pelayaran mereka menuju Nusantara. Bangunan
baru, pabrik baru, tambang baru semakin banyak dilahirkan di era Soeharto.
Kondisi ini bertahan sampai era Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam jangka waktu
tersebut, banyak aset bangsa yang bahkan berpindah tangan ke pelukan-pelukan
investor.
Memasuki era Joko Widodo-Jusuf Kalla, investasi agaknya naik
jabatan. Mungkin dia bosan lantaran terlalu lama menduduki kursi panglima.
Sekarang ini, ia mampu menjadi raja di Indonesia.
Sejak resmi berkuasa Oktober 2014 lalu, pemerintahan
Jokowi-JK gencar mengajak investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Tidak hanya di forum-forum internasional, tetapi juga di setiap pertemuan
dengan pemimpin negara lain.
Kerja Jokowi tidak sia-sia. Arus investasi masuk Indonesia
pun menderas. Laporan World Investment Report 2015 menyebutkan, penanaman modal
asing (PMA) di Indonesia tumbuh 20 persen. Angka itu menempatkan pertumbuhan
PMA di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Namun, ibarat pepatah “ada gula ada semut”, investor asing
datang menyemut karena difasilitasi banyak sekali “kebijakan gula-gula”. Ini
juga yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Sebagai misal, sejak beberapa
bulan lalu, pemerintahan yang mengusung panji-panji Trisakti ini mengobral
insentif pajak untuk investor, seperti tax
allowance (keringanan atau pengurangan pajak bagi investor dalam masa
tertentu) dan tax holiday (pembebasan
membayar pajak bagi investor dalam masa tertentu).
Insentif-insentif tersebut agaknya tak cukup memuaskan bagi
raja baru ini. Belakangan, sang raja mulai bermain di ranah-ranah yang boleh
dikatakan ilegal. Sebut saja, penambangan-penambangan liar muncul di Indonesia.
Mungkin, penambangan itu dilakukan oleh masyarakat sekitar dan tidak
berhubungan langsung dengan investor multinasional. Namun, jika dilihat
mendalam, semua hal tersebut tetap bisa ditarik benang merahnya.
Keadaan ini memaksa sejumlah putra bangsa bergerak. Mereka
melawan, namun tak sedikit pula yang terpaksa tumbang. Adalah Salim Kancil,
seorang putra bangsa dari Watu Pecak Desa Selok Awar-Awar Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang yang menjadi korban terakhir ketamakan raja bernama
Investasi.
Salim tewas karena dianiaya para preman pro tambang pasir
yang ada di wilayahnya. Luka benda tumpul dan benda tajam ada di sekujur tubuhnya.
Salim tewas karena menolak adanya aktivitas pertambangan di Desa Selok
Awar-awar, Lumajang.
Salim hanyalah satu nama yang menjadi korban ketamakan raja
satu ini. Di seluruh penjuru bangsa, masih ada jutaan lagi Salim Salim lain
yang mungkin akan bernasib sama lantaran melawan si Raja. Akan sampai kapan si
Raja satu ini dibiarkan merajalela...
No comments:
Post a Comment