Terkadang, kita,
masyarakat percaya bahwa orang yang menduduki tampuk-tampuk kepemimpinan
merupakan orang-orang pintar. Bahkan, tak jarang, kita menganggap mereka
sebagai putra atau putri terbaik bangsa.
Anggapan ini agaknya tidak
bisa dikatakan benar saat kita melihat kabar yang mencuat dari Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah baru-baru ini. Yakni, kabar terkait banyaknya bangunan mangkrak.
Yang membuat miris, bangunan ini bukanlah bangunan warisan kolonial yang
dibangun dengan uang belanda. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan
baru yang didanai duit rakyat, baik lewat APBD maupun lewat APBN.
Satu bangunan yang mangkrak adalah instalasi pengolahan air
bersih milik PDAM yang didanai lewat APBN senilai kurang lebih Rp 3,7 miliar.
Setelah menghabiskan anggaran yang cukup besar pada tahun 2009 lalu, sampai
sekarang bangunan ini belum beroperasi. Bangunan ini belum sedikitpun memberi
manfaat bagi masyarakat kecamatan sekitar yang mengharapkan suplai air bersih
tersebut.
Meski miris, peristiwa ini memiliki sebuah sisi yang sangat
lucu. Mungkin sedikit menyedihkan, tapi cukup lucu.
Yakni, saat PLT Dirut PDAM
Banjarnegara, Suswati memberikan tanggapan atas mangkraknya instalasi
pengolahan air tersebut. Pimpinan sementara PDAM Banjarnegara ini dengan tegas
menampik anggapan bahwa bangunan aset BUMD yang dipimpinnya mangkrak.
Yang mengocok perut adalah pernyataan selanjutnya yang
diungkapkannya. Yakni, bahwa gedung tersebut memang belum beroperasi sejak
dibuat sekitar 6 tahun silam. Lalu, apa bedanya bangunan mangkrak dengan bangunan yang tak
beroperasi sejak dibangun.
Saat itu, kami sebagai sebuah lembaga yang berusaha menjadi
corong publik mencoba bertanya dengan orang lain yang ada di struktur BUMD
tersebut. Yakni, Koordinator PDAM Wilayah IV Banjarnegara, Rusmanto. Namun,
kami hanya mendapatkan jawaban yang tak berbeda dengan pernyataan Suswati,
masih lucu.
Lalu, kami mencoba mempertanyakan kasus ini kepada orang
nomor 1 di kabupaten tersebut, Bupati Sutedjo Slamet Utomo. Kami tentu berharap
jawaban yang lebih baik. Namun, bupati malah memberikan jawaban yang jauh lebih
lucu. Dia malah mengaku tidak tahu ada bangunan dari uang rakyat
di wilayahnya yang mangkrak. Alasannya, dia belum mendapatkan laporan.
Contoh lain adalah bangunan pasar hewan di Karangkobar,
Banjarnegara yang bernasib sama dengan instalasi air bersih PDAM. Soal bangunan
satu ini, jawaban bupati cukup menarik, yakni, akan merubah pasar tersebut
menjadi Terminal Karangkobar.
Kedua contoh tersebut mungkin bisa menggambarkan kondisi
pemerintahan otonom di berbagai kabupaten di Indonesai. Contoh pertama,
menunjukkan rangkaian kelucuan yang saking lucunya malah cenderung menyedihkan.
Khususnya, saat bupati tak tahu ada bangunan mangkrak di wilayahnya.
Kondisi ini membuat saya bertanya-tanya. Seperti apakah alur
pemerintahan di sana? Kok bisa sampai
bupati tidak dapat laporan terkait bangunan mangkrak di wilayahnya? Apakah
tidak ada pihak di Banjarnegara yang perhatian dengan persoalan semacam ini?
Apakah tidak ada yang mau menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah?
Pertanyaan ini tumbuh menjadi sebuah kecurigaan. Misalnya, berkatian dengan adanya upaya
membutakan bupati yang dilakukan bawahan-bawahannya. Jika memang bupati belum pernah mendapatkan
laporan, maka muncul kemungkinan tesis ini benar adanya.
Kecurigaan lebih parah adalah terkait pola penggunaan
anggaran yang proyek minded.
Bukan
tanpa alasan, kecurigaan ini bisa muncul dari dua contoh yang saya sebutkan,
baik instalasi PDAM maupun Pasar Hewan Karangkobar. Sebab, dua contoh tersebut
adalah wujud implementasi kebijakan publik yang kurang tepat, baik dalam proses
penyusunan program maupun dalam implementasinya.
Kecurigaan saya berangkat dari satu sisi, yakni pola
penyusunan program. Apakah kedua bangunan tersebut benar-benar disusun dengan
dasar yang matang? Atau sebenarnya bangunan tersebut merupakan sebuah program
yang asal didasarkan pada upaya penyaluran anggaran yang tersedia?
No comments:
Post a Comment