Indonesia disebut-sebut sebagai negara kaya, sebuah bangsa
yang memiliki tanah dan air luar biasa. Hasil buminya saja, bisa menghidupi
pemerintahan kaya yang selama ini merajalela.
Namun, percayakah Anda jika Indonesia disebut negara kaya?
Maksud saya, negara yang hanya berpihak pada orang kaya? Anda harus percaya!
Saya berikan sebuah contoh. Baru-baru ini, saya membaca
berita keuangan di beberapa media. Media-media tersebut mengabarkan sebuah
rencana pemerintah untuk menghapus beberapa item yang selama ini masuk daftar
barang mewah kena pajak. Pajak yang dimaksud adalah Pajak Penjualan Barang
Mewah (PPnBM). Regulasi terkait pajak tersebut selama ini tertuang pada Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.011/2013.
Di wacana baru yang tengah digagas para punggawa bangsa, ada
paling tidak tiga jenis barang yang akan dihapus dari daftar tersebut. Antara
lain, furnitur, televisi (TV) dan aksesoris seperti tas perempuan.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, jajarannya
tengah menggodok sebuah formula untuk menjadi dasar hukum penghapusan
barang-barang ini dari daftar PPnBM. Formula tersebut akan dikemas dalam sebuah
Putusan Menteri Keuangan.
Kebijakan ini didasari sebuah alasan sederhana. Bambang
menilai, barang-barang tersebut sudah tidak layak lagi dikategorikan sebagai
barang mewah. Misalnya TV yang sudah mengalami berbagai perubahan dalam
produknya. "TV masih dianggap jadi
barang mewah. Itu sudah tidak mungkin. Karena lihat saja dari TV gemuk sampai
kurus sudah ganti-ganti," kata dia.
Alasan ini ditambah alasan lain yang juga sederhana. Yakni,
meningkatkan angka konsumsi bangsa dengan membuat harga barang-barang tersebut
lebih murah. "Nanti harga lebih murah, itu konsumsi orang bisa lebih tinggi.
Karena mampu untuk membeli barang itu," kata Bambang.
Pendapat Bambang didukung oleh punggawa perpajakan bangsa
yang tidak lain adalah Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Sigit Priadi
Pramudito. Menurutnya, barang mewah seperti tas, tv, dan furnitur tidak lagi
bisa disebut mewah. "Ada TV dan tas puluhan juta juga itu sudah biasa.
Bukan barang mewah lagi. Jadi habis semua nggak ada PPnBM-nya," kata dia.
Bagi orang kaya, iya, kebijakan ini mungkin kebijakan bagus
yang akan membuat mereka tambah hura-hura. Tapi, bagi orang yang hidup
sederhana, bagaimana? Mungkin ada juga yang bertanya, apakah orang yang hidup
sederhana akan terkena imbasnya?
Saya mungkin masuk golongan sederhana. Bukan... mungkin
lebih tepat disebut kere. Golongan
yang bahkan tidak bermimpi bisa memiliki TV, tas, dan meubel yang harganya
berpuluh juta. Secara langsung, mungkin saya juga tidak akan terkena imbasnya.
Tapi, tetap saja, kebijakan ini akan saya sebut kebijakan durhaka. Kebijakan
yang hanya berpihak kepada orang kaya.
Kenapa? Karena dengan menghilangkan item-item tersebut dari
daftar barang kena PPnBM, ada sebuah resiko yang ditanggung negara. Yakni,
turunnya potensi pajak negara.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengakui hal ini.
Kebijakan ini tentunya tetap memberikan pengaruh terhadap penerimaan pajak.
Dalam hitungan satu tahun, pajak yang akan berkurang adalah sekitar Rp 800
miliar.
Lagi-lagi, ada sebuah bukti bahwa Indonesia adalah negara
kaya. Si Sigit berkata kalau pengurangan sebanyak itu adalah angka yang biasa.
"Nggak seberapa, untuk elektronik dan tas mewah, sekitar Rp 800
miliar," ujar Sigit.
Gila... entah saya yang tidak bisa berpikiran jauh atau
bagaimana. Saya tetap tidak bisa terima jika kebijakan durhaka ini benar-benar
diterbitkan dan diberlakukan. Alasan
saya sederhana. Barang mewah macam tas, meubel, dan TV merupakan barang mubazir
yang manfaatnya tak akan banyak.
Masih belum percaya Indonesia adalah negara yang berpihak
pada orang kaya? Saya beri satu analogi lagi. Pernah dengar rencana Menteri
susi menghapus retribusi untuk nelayan kecil? Apa kabar kebijakan tersebut?
Sudah berlaku?
Kebijakan tersebut dulu sempat menuai polemik. Sebab, jika
kebijakan tersebut diberlakukan keuangan negara akan mengalami kerugian sebesar
Rp 250 miliar per tahun. Saat itu, Menkeu Bambang meminta Susi bekerja keras
mencapai target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditetapkan
Kementerian Kelautan dan Perikana jika ingin menghapus retribusi untuk nelayan
miskin. Dengan begitu, uang retribusi akan bisa diturup dengan peningkatan
PNBP.
Ironis bukan? Kehilangan Rp 800 miliar per tahun untuk tas
dan tv buat orang kaya tak dianggap sebagai masalah. Tapi, kehilangan Rp 250 miliar pertahun
agar nelayan miskin bebas retribusi jadi polemik.
No comments:
Post a Comment