Monday, May 18, 2015

Sekedar Membandingkan



Belakangan ini, ada  dua perkara hukum yang cukup menyita perhatian publik Banyumas. Pertama, kasus gratifikasi yang berakibat pada dicokoknya Kepala Satpol PP Kabupaten Banyumas dan tiga orang lainnya. Perkara kedua merupakan tindak pidana yang melibatkan seorang mahasiswa Fisip Unsoed. Mahasiswa ini kedapatan menanam pohon ganja di sebuah instalasi ‘plant factory’ mini di kamarnya.

Keduanya kini tengah menjalani masa persidangan. Dari kabar terakhir yang dilansir beberapa media di Banyumas, perkara yang melibatkan si mahasiswa berakhir pada ancaman tuntutan minimal 16 tahun penjara. Tuntutan ini muncul lantaran ia berpotensi terjerat  pasal 111 ayat 1 dan 2, serta pasal 127 ayat Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkoba.

Berbeda jauh dari kasus pertama, perkara yang mendera ibu Kasatpol PP berakhir hanya pada tuntutan 1 tahun penjara. Tuntutan satu tahun ini pun membuat kuasa hukum si perusak aturan dan perantara suap tersebut merasa keberatan.


Dua perkara tersebut melibatkan dua orang yang melakukan kesalahan. Kesalahan keduanya berbeda jenis yang imbasnya memunculkan penanganan dan ancaman hukuman yang berbeda pula. Saya kebetulan mengenal kedua tersangka tersebut. Hal ini membuat saya sedikit tidak rela melihat ancaman hukuman yang sangat jauh berbeda diantara keduanya.

Perkara pertama, gratifikasi toko modern memiliki imbas yang cukup besar. Efek domino yang ditimbulkan dari beroperasinya toko-toko modern pelanggar Peraturan Daerah (Perda) sangatlah terasa. 

Operasi toko modern tak berizin mengakibatkan banyak hal. Tutupnya toko-toko kelontong kecil di sekitar toko modern tersebut. Tidak hanya kelontong, pedagang kaki lima di beberapa titik juga terpaksa tutup.

Saya pernah berbincang dengan salah seorang pemilik warung yang terpaksa harus bertarung dengan toko modern. Saat itu, ia menyaksikan langsung pembongkaran toko modern di desa Tambaksari. Dia mengaku sangat senang dan merasa tenang bisa berdagang lagi tanpa harus bersaing dengan toko modern.

Dia menyebut pengaruh toko modern amat dirasakan pedagang kecil. Sebab, hantaman promo dan diskon toko moden tidak bisa disaingi toko-toko bermodal kecil. Efek satu ini hanyalah contoh dari sekian banyak nasib serupa yang mendera pedagang kaki lima dan pemilik kelontong kecil.

Dilihat secara kasat mata, efek ini mungkin bisa dianggap ringan. Namun, pedagang kecil butuh toko kelontong mereka tetap jalan untuk makan sehari-hari. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Banyumas, Supangkat pernah mengungkapkan sebuah analogi yang cukup mengena.

“PKL itu dagang untuk makan, kalau tahu-tahu ada toko modern buka, dia nggak bisa lagi jualan rokok karena orang lebih memilih belanja di toko modern. Dia terpaksa menutup usahanya. Terus, dia kerja apa? Ada yang pernah mempertanyakan hal ini? Pemerintah harusnya melindungi mereka,” kata Supangkat saat itu.

Alih-alih melindungi pedagang kecil, ibu Kasatpol PP malah menjadi penyalur duit toko modern agar izin bodongnya bisa keluar. Penegak perda ini malah merusak aturan yang seharusnya dipegang teguh olehnya. Dosa terhadap pedagang kaki lima dan kelontong ini tidak bisa begitu saja dilupakan. Malah, mungkin bisa dikatakan, tindakan ibu Kasatpol PP sudah membuat puluhan toko kelontong dan PKL tutup.

Hukuman untuk kesalahan semacam ini, menurut saya tidak bisa enteng. Vonis 1 tahun terlalu ringan, apalagi saat menilik fakta bahwa ibu Kasatpol  PP sudah menjalani masa tahanan sejak Januari lalu. Masa tahanan ini biasanya digunakan untuk mengurangi masa hukuman. Belum lagi nanti saat Idul Fitri, saat hari raya, biasanya LP bagi-bagi pengurangan masa hukuman. Bisa-bisa, beliau ini menjalani masa tahanan kurang dari setengah tahun.

Kita lihat perkara kedua, si Mahasiswa ini kebetulan dekat dengan saya. Saya kenal betul siapa dia. Pemuda hitam, kecil, keriting, yang memiliki banyak teman. Mahasiswa ini melakukan tindakan fatal, tapi, bagi saya efek domino yang ditimbulkan tidak sefatal perkara pertama. Masih saja, ia diancam ganjaran yang masanya jauh lebih berat.

Kasus penyalahgunaan narkoba kerap dianggap sebagai dosa besar karena merusak moral anak bangsa. Benarkah? Kita lihat ibu Kasatpol PP dan rekan-rekannya. Saya rasa mereka tidak menggunakan narkoba. Tapi, bagimana kualitas moralnya?
Lagipula, apa lagi yang akan dirusak dari bangsa yang pemudanya sudah cukup rusak. Dosa si mahasiswa ini, bagi saya tidaklah signifikan dalam menyumbang kerusakan moral bangsa. 

Soal kejahatan yang katanya banyak dipicu kecanduan narkoba mungkin. Bagi saya ini juga tidak terlalu berbahaya. Paling tidak, hal ini tidak semembahayakan kejahatan korupsi berjamaah yang timbul akibat adanya contoh tersangka kasus gratifikasi yang hanya dihukum setahun.

Yang dilakukan si Mahasiswa, saya rasa hanya akan berakhir pada kebodohan akut yang kerap menyerang para pengguna narkoba. Dan bagi saya, lagi-lagi itu bukan masalah yang pelik. Saya lebih memilih bangsa ini dipenuhi orang bodoh karena narkoba ketimbang dipenuhi pejabat penjahat yang membunuh rakyatnya sendiri.


No comments:

Post a Comment