Belakangan ini, ada
dua perkara hukum yang cukup menyita perhatian publik Banyumas. Pertama,
kasus gratifikasi yang berakibat pada dicokoknya Kepala Satpol PP Kabupaten
Banyumas dan tiga orang lainnya. Perkara kedua merupakan tindak pidana yang
melibatkan seorang mahasiswa Fisip Unsoed. Mahasiswa ini kedapatan menanam
pohon ganja di sebuah instalasi ‘plant
factory’ mini di kamarnya.
Keduanya kini tengah menjalani masa persidangan. Dari kabar
terakhir yang dilansir beberapa media di Banyumas, perkara yang melibatkan si mahasiswa
berakhir pada ancaman tuntutan minimal 16 tahun penjara. Tuntutan ini muncul
lantaran ia berpotensi terjerat pasal
111 ayat 1 dan 2, serta pasal 127 ayat Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkoba.
Berbeda jauh dari kasus pertama, perkara yang mendera ibu
Kasatpol PP berakhir hanya pada tuntutan 1 tahun penjara. Tuntutan satu tahun
ini pun membuat kuasa hukum si perusak aturan dan perantara suap tersebut
merasa keberatan.
Dua perkara tersebut melibatkan dua orang yang melakukan
kesalahan. Kesalahan keduanya berbeda jenis yang imbasnya memunculkan
penanganan dan ancaman hukuman yang berbeda pula. Saya kebetulan mengenal kedua
tersangka tersebut. Hal ini membuat saya sedikit tidak rela melihat ancaman
hukuman yang sangat jauh berbeda diantara keduanya.
Perkara pertama, gratifikasi toko modern memiliki imbas yang
cukup besar. Efek domino yang ditimbulkan dari beroperasinya toko-toko modern
pelanggar Peraturan Daerah (Perda) sangatlah terasa.
Operasi toko modern tak berizin mengakibatkan banyak hal.
Tutupnya toko-toko kelontong kecil di sekitar toko modern tersebut. Tidak hanya
kelontong, pedagang kaki lima di beberapa titik juga terpaksa tutup.
Saya pernah berbincang dengan salah seorang pemilik warung
yang terpaksa harus bertarung dengan toko modern. Saat itu, ia menyaksikan
langsung pembongkaran toko modern di desa Tambaksari. Dia mengaku sangat senang
dan merasa tenang bisa berdagang lagi tanpa harus bersaing dengan toko modern.
Dia menyebut pengaruh toko modern amat dirasakan pedagang
kecil. Sebab, hantaman promo dan diskon toko moden tidak bisa disaingi
toko-toko bermodal kecil. Efek satu ini hanyalah contoh dari sekian banyak
nasib serupa yang mendera pedagang kaki lima dan pemilik kelontong kecil.
Dilihat secara kasat mata, efek ini mungkin bisa dianggap
ringan. Namun, pedagang kecil butuh toko kelontong mereka tetap jalan untuk
makan sehari-hari. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Banyumas, Supangkat pernah
mengungkapkan sebuah analogi yang cukup mengena.
“PKL itu dagang untuk makan, kalau tahu-tahu ada toko modern
buka, dia nggak bisa lagi jualan
rokok karena orang lebih memilih belanja di toko modern. Dia terpaksa menutup
usahanya. Terus, dia kerja apa? Ada yang pernah mempertanyakan hal ini?
Pemerintah harusnya melindungi mereka,” kata Supangkat saat itu.
Alih-alih melindungi pedagang kecil, ibu Kasatpol PP malah
menjadi penyalur duit toko modern agar izin bodongnya bisa keluar. Penegak
perda ini malah merusak aturan yang seharusnya dipegang teguh olehnya. Dosa terhadap pedagang kaki lima dan kelontong ini tidak
bisa begitu saja dilupakan. Malah, mungkin bisa dikatakan, tindakan ibu
Kasatpol PP sudah membuat puluhan toko kelontong dan PKL tutup.
Hukuman untuk kesalahan semacam ini, menurut saya tidak bisa
enteng. Vonis 1 tahun terlalu ringan, apalagi saat menilik fakta bahwa ibu
Kasatpol PP sudah menjalani masa tahanan
sejak Januari lalu. Masa tahanan ini biasanya digunakan untuk mengurangi masa
hukuman. Belum lagi nanti saat Idul Fitri, saat hari raya, biasanya LP bagi-bagi
pengurangan masa hukuman. Bisa-bisa, beliau ini menjalani masa tahanan kurang
dari setengah tahun.
Kita lihat perkara kedua, si Mahasiswa ini kebetulan dekat
dengan saya. Saya kenal betul siapa dia. Pemuda hitam, kecil, keriting, yang
memiliki banyak teman. Mahasiswa ini melakukan tindakan fatal, tapi, bagi
saya efek domino yang ditimbulkan tidak sefatal perkara pertama. Masih saja, ia
diancam ganjaran yang masanya jauh lebih berat.
Kasus penyalahgunaan narkoba kerap dianggap sebagai dosa
besar karena merusak moral anak bangsa. Benarkah? Kita lihat ibu Kasatpol PP
dan rekan-rekannya. Saya rasa mereka tidak menggunakan narkoba. Tapi, bagimana
kualitas moralnya?
Lagipula, apa lagi yang akan dirusak dari bangsa yang
pemudanya sudah cukup rusak. Dosa si mahasiswa ini, bagi saya tidaklah
signifikan dalam menyumbang kerusakan moral bangsa.
Soal kejahatan yang katanya banyak dipicu kecanduan narkoba
mungkin. Bagi saya ini juga tidak terlalu berbahaya. Paling tidak, hal ini
tidak semembahayakan kejahatan korupsi berjamaah yang timbul akibat adanya
contoh tersangka kasus gratifikasi yang hanya dihukum setahun.
Yang dilakukan si Mahasiswa, saya rasa hanya akan berakhir
pada kebodohan akut yang kerap menyerang para pengguna narkoba. Dan bagi saya,
lagi-lagi itu bukan masalah yang pelik. Saya lebih memilih bangsa ini dipenuhi
orang bodoh karena narkoba ketimbang dipenuhi pejabat penjahat yang membunuh
rakyatnya sendiri.
No comments:
Post a Comment