Thursday, January 22, 2015

Ngaji

Ngaji, kegiatan satu ini mungkin masih memegang rekor sebagai kegiatan paling jarang saya lakukan. Tapi, bukan saya tidak pernah mendekati agama. Kadang, saya mengunjungi beberapa orang kiyai. Tujuan saya, diskusi.

Saya selalu berpikir, ngaji itu tidak terlalu berguna. Transfer pengetahuannya terbatas, tergantung tema yang dibawa si kiyai. Saya juga nggak bisa ngeyel kalau ada pernyataan yang saya kurang setujui, nggak enak sama forum. Jadi, saya lebih senang mendatangi kiyai tertentu untuk sekadar berbincang.
Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kiyai yang sedikit moderat. Dia satu dari segelintir kiyai kenalan saya yang memiliki gelar Doktor. 


Sebelumnya, saya sudah janjian lewat sms dengan itu kiyai. Dan saat saya datang, ternyata dia sudah menyiapkan sebuah bahan diskusi. Sebuah tema yang selalu membuat saya tertarik, kondisi Indonesia. Tidak saya sangka, tema tersebut menjadi tema diskusi Topan vs Kiyai yang paling menarik buat saya.

Saya bahkan masih ingat betul kalimat yang dipakai kiyai tersebut membuka diskusi setelah sedikit basa-basi. “Kamu tahu nggak Pan, kenapa Indonesia itu susah majunya, kenapa masih banyak korupsi, kenapa nggak bersih-bersih ini pemerintahan?”

“Itu sih banyak banget pak, dibahas seminggu juga nggak ada abisnya,” jawab saya.

Kiyai itu terkekeh. “Enggak pan, jawabane kur siji, cara nggo ngeberesi masalah yang dihadapi bangsa ini juga kur siji. Wong Islame kon kelingan karo ajaran Islam,” katanya lagi.

“Kepriwe kue pak analogine?” sejuta sanggahan siap saya lontarkan. Mulai dari kecurigaan membawa negara plural ini ke arah pemerintahan Islam dan semua tetek bengeknya.

“Shalat, selain ibadah juga tuntunan Pan, Shalat berjamaah itu perwujudan sebuah sistem pemerintahan. Jadi kalau semakin banyak muslim menyadari apa yang dicontohkan oleh Shalat Indonesia itu bisa maju,” katanya. 

Saya diam, menunggu penjelasan lanjutan dari Kiyai tersebut.

Dia lalu menjelaskan, dalam Shalat jamaah ada berbagai elemen. Dua elemen dijelaskannya, Imam dan Ma’mum. Imam dianalogikan sebagai pimpinan sebuah struktur pemerintahan. Dia dipilih dari ma’mum. 

Ada beberapa kriteria yang membuatnya dipilih. Tingkat pengetahuan terhadap Islam, usia, dan kemampuan memimpin jamaah. “Intine, wong paling pinter, paling apik sekang ma’mum ya dipilih kon dadi imam. Pada karo dewek milih presiden, putra terbaik bangsa jerene,” kata dia.

Imam punya kewajiban memimpin shalat sesuai dengan aturan yang ada, seperti  Presiden yang memimpin negara dengan dasar UU, PP, dan peraturan lainnya.

Imam itu manusia biasa, jadi ada kemungkinan besar dia melakukan kesalahan. Misalnya, keclethot saat membaca suratan yang membuat makna suratannya berbeda atau batal wudhu di tengah shalat. “Nah, kalau imam melakukan kesalahan apa kewajiban ma’mum?” katanya.

“Ma’mum wajib mengingatkan imam dengan bacaan Tasbih, Subhanallah. Kalau tidak diingatkan shalate wong se mesjid batal kabeh,” kata dia.

Sama dengan yang terjadi dalam struktur pemerintahan. Jika pimpinan, baik itu presiden, gubernur, atau bupati melakukan kesalahan. Maka, kewajiban rakyat yang disini mayoritas Islam adalah mengingatkan. “Biar pemerintahannya tidak batal dan berantakan semua,” kata dia.

Imam pun seharusnya sadar, kalau kesalahannya belum fatal, maka ia wajiib memperbaiki. Kalau sudah fatal, dia harus mundur, istikhlaf. Setelah itu, jamaah yang dipilih imam atau dipilih mamum maju menggantikan imam tersebut.

Tidak hanya mengingatkan, lanjut pak Kiyai. Kalau memang terbukti salah dan tidak mau diingatkan, maka jamaah harus niat mufaroqoh atau niat keluar dari shalat jamaah dan shalat sendiri-sendiri.

“Contoh-contoh seperti ini kan harusnya dipahami wong Islam Pan. Dadi nek pemimpine salah, kita sebagai rakya wajib mengingatkan. Kalau sudah begitu, saya rasa Indonesi bisa maju,” katanya.

Diskusi ini berakhir. 

Bukan.. bukan diskusi, ini pengajian. 

Pengajian paling menarik selama 28 tahun saya hidup.



Topan Pramukti

4 comments:

  1. analogi yang menarik...simple, yet touche...sederhana, dan ternyata paling susah diikuti...sering-sering ngaji yaaah :)

    ReplyDelete
  2. Yap! Setuju dengan tulisan ini. Saya sependapat bahwa sholat secara tidak langsung menggambarkan manusianya, secara personal, keluarga, masyarakat, maupun pemerintahan. Misalnya kalau sering melambat-lambatkan sholat, artinya kebiasaan menunda lagi kumat, seperti itu. Mungkin karena itulah kita diminta serius kalau sholat, ya Mas...

    TFS. Keep blogging en ngaji, Imam-nya Mak Pungky dan Jiwo... Salam kenal :)

    ReplyDelete