Thursday, September 3, 2015

Rupiah Anjlok, Menyedihkan



Berita tentang merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, beberapa hari belakangan menjadi dagangan utama media-media regional dan nasional. Arus informasi yang cukup deras ini membuat ramai bermacam media sosial. Seperti biasa, jika media sosial sudah ramai, maka giliran situs-situs tak jelas ikut menyebarkan berita miring sarat propaganda dan provokasi.

Kali ini, saya tidak akan membahas adu argumen dan gontok-gontokan di tataran netizen yang termakan atau menyebarkan berita maupun provokasi. Tulisan ini akan mengangkat fakta yang cukup menyedihkan di balik dinamika merosotnya nilai rupiah.

Beberapa hari setelah merosotnya nilai rupiah menjadi sorotan khalayak ramai, sebuah pernyataan mencuat di media. Adalah Kompas yang menyiarkan pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. 
 
Menurutnya sang jenderal,  nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kian anjlok hingga menembus angka Rp 14.000 tak akan berdampak ke daerah. Gatot menjamin, daerah-daerah aman dari konflik. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat ini mengatakan, selama stok pangan di daerah masih ada dan masyarakatnya masih bisa membeli kebutuhan pokok, konflik yang dikhawatirkan itu tak akan terjadi.

Pernyataan ini diperkuat dengan sebuah kutipan yang berbunyi demikian. “Petani dan rakyat mana tahu (rupiah anjlok), yang penting masih bisa makan terjangkau tentunya aman.”

Saya rakyat biasa, saya mungkin akan sakit kepala jika diajak untuk urun rembug memperkuat rupiah. Tapi, kami, rakyat sepertinya tidak sebodoh itu. Bagi saya pribadi, pernyataan tersebut sangat merendahkan publik. 

Ingin rasanya menemui sang jenderal dan mengungkapkan perasaan kami. Pernyataan sang jendral tersebut bagi saya pribadi adalah sebuah cerminan pola treatment pemerintah terhadap isu-isu yang berkembang. 

Ada sebuah kesan miris yang muncul. Yakni, kesan bahwa pemerintah kita akan merasa lebih nyaman dengan kondisi rakyat yang bodoh. Mungkin, bagi mereka dengan masyarakat yang tak banyak berpikir dan bertanya, pemerintahan akan berjalan lebih baik.

Bagi saya, pemerintah seharusnya memiliki kewajiban untuk membuat masyarakatnya lebih cerdas. Soal rupiah anjlok ini seharusnya ditangani dengan profesionalitas dan transparansi. Dengan begitu, rakyat akan tahu dan nantinya percaya, pemerintah mampu menyelesaikan polemik semacam ini. 

Selanjutnya, jika di masa mendatang polemik semacam itu kembali terjadi, rakyat pun tak perlu khawatir. Bukan karena sekadar beras dan sembako tersedia, tapi karena kami yang juga mencintai Indonesia ini percaya pemerintah termasuk pak jenderal mampu menjaga Ibu Pertiwi.

Yang lebih menyedihkan lagi, pernyataan tersebut menyiratkan makna tersendiri. Yakni, bahwa rakyat terkesan sangat egois. Asalkan kebutuhan tercukupi, maka tidak akan muncul masalah. Kami tidak sepicik itu pak..

Kesan lain yang tak kalah menyedihkan adalah bermunculannya publik figur yang sepertinya sengaja memancing di air keruh. Mungkin saja, hal ini sebatas subjektifitas penulis saja. Namun, kesan tersebut tetap sangat kuat terasa.

Kita ambil contoh kicauan-kicauan mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono di akun twitter resminya. Berikut sepenggal kicauan yang SBY di akun media sosial tersebut. “Indonesia memang sering alami gejolak. Dlm krisis 98 ekonomi kita jatuh,tetapi dlm krisis gobal 2008 kita selamat. Ambil pengalamannya.” 

Dilihat sekilas, pernyataan ini merupakan sebuah ungkapan yang terkesan sangat bijak. Tapi, ada yang bagian belakang kalimat tersebut membuat saya sedikit risih. 

Di satu sisi, ada baiknya dan memang menjadi kewajiban SBY sebagai rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya yang dianggap belum melakoni langkah tepat. Namun, untuk orang sekelas SBY, saya rasa jalur yang bisa ia gunakan untuk mengkritisi Jokowi bukanlah twitter.

Mungkin, jika pernyataan tersebut diungkapkan dalam sebuah sesi makan malam atau lewat sambungan pribadi, maka akan lebih baik. Sebab, dengan menyatakan hal itu di media sosial, SBY terkesan hanya mencari-cari momen pencitraan. 

Nah, sejauh ini, tidak hanya SBY yang terkesan menggunakan momen ini untuk pencitraan. Sejumlah public figure nasional juga sempat angkat bicara dan mengungkapkan pendapat mereka di media sosial. Ujungnya, pernyataan-pernyataan mereka malah memunculkan perdebatan. Sebuah kondisi yang bagi saya terkesan kontraproduktif.

No comments:

Post a Comment