Berita tentang merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS, beberapa hari belakangan menjadi dagangan utama media-media regional dan
nasional. Arus informasi yang cukup deras ini membuat ramai bermacam media
sosial. Seperti biasa, jika media sosial sudah ramai, maka giliran situs-situs
tak jelas ikut menyebarkan berita miring sarat propaganda dan provokasi.
Kali ini, saya tidak akan membahas adu argumen dan
gontok-gontokan di tataran netizen yang termakan atau menyebarkan berita maupun
provokasi. Tulisan ini akan mengangkat fakta yang cukup menyedihkan di balik dinamika
merosotnya nilai rupiah.
Beberapa hari setelah merosotnya nilai rupiah menjadi
sorotan khalayak ramai, sebuah pernyataan mencuat di media. Adalah Kompas yang menyiarkan pernyataan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Menurutnya sang jenderal,
nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kian anjlok hingga menembus
angka Rp 14.000 tak akan berdampak ke daerah. Gatot menjamin, daerah-daerah
aman dari konflik. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat ini mengatakan, selama
stok pangan di daerah masih ada dan masyarakatnya masih bisa membeli kebutuhan
pokok, konflik yang dikhawatirkan itu tak akan terjadi.
Pernyataan ini diperkuat dengan sebuah kutipan yang berbunyi
demikian. “Petani dan rakyat mana tahu (rupiah anjlok), yang penting masih bisa
makan terjangkau tentunya aman.”
Saya rakyat biasa, saya mungkin akan sakit kepala jika
diajak untuk urun rembug memperkuat
rupiah. Tapi, kami, rakyat sepertinya tidak sebodoh itu. Bagi saya pribadi,
pernyataan tersebut sangat merendahkan publik.
Ingin rasanya menemui sang jenderal dan mengungkapkan
perasaan kami. Pernyataan sang jendral tersebut bagi saya pribadi adalah sebuah
cerminan pola treatment pemerintah
terhadap isu-isu yang berkembang.
Ada sebuah kesan miris yang muncul. Yakni, kesan bahwa
pemerintah kita akan merasa lebih nyaman dengan kondisi rakyat yang bodoh.
Mungkin, bagi mereka dengan masyarakat yang tak banyak berpikir dan bertanya,
pemerintahan akan berjalan lebih baik.
Bagi saya, pemerintah seharusnya memiliki kewajiban untuk
membuat masyarakatnya lebih cerdas. Soal rupiah anjlok ini seharusnya ditangani
dengan profesionalitas dan transparansi. Dengan begitu, rakyat akan tahu dan
nantinya percaya, pemerintah mampu menyelesaikan polemik semacam ini.
Selanjutnya, jika di masa mendatang polemik semacam itu
kembali terjadi, rakyat pun tak perlu khawatir. Bukan karena sekadar beras dan
sembako tersedia, tapi karena kami yang juga mencintai Indonesia ini percaya
pemerintah termasuk pak jenderal mampu menjaga Ibu Pertiwi.
Yang lebih menyedihkan lagi, pernyataan tersebut menyiratkan
makna tersendiri. Yakni, bahwa rakyat terkesan sangat egois. Asalkan kebutuhan
tercukupi, maka tidak akan muncul masalah. Kami tidak sepicik itu pak..
Kesan lain yang tak kalah menyedihkan adalah bermunculannya
publik figur yang sepertinya sengaja memancing di air keruh. Mungkin saja, hal
ini sebatas subjektifitas penulis saja. Namun, kesan tersebut tetap sangat kuat
terasa.
Kita ambil contoh kicauan-kicauan mantan Presiden Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono di akun twitter
resminya. Berikut sepenggal kicauan yang SBY di akun media sosial tersebut. “Indonesia
memang sering alami gejolak. Dlm
krisis 98 ekonomi kita jatuh,tetapi dlm krisis gobal 2008 kita selamat. Ambil
pengalamannya.”
Dilihat sekilas, pernyataan ini merupakan sebuah ungkapan
yang terkesan sangat bijak. Tapi, ada yang bagian belakang kalimat tersebut
membuat saya sedikit risih.
Di satu sisi, ada baiknya dan memang menjadi kewajiban SBY
sebagai rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya yang dianggap belum melakoni
langkah tepat. Namun, untuk orang sekelas SBY, saya rasa jalur yang bisa ia
gunakan untuk mengkritisi Jokowi bukanlah twitter.
Mungkin, jika pernyataan tersebut diungkapkan dalam sebuah
sesi makan malam atau lewat sambungan pribadi, maka akan lebih baik. Sebab,
dengan menyatakan hal itu di media sosial, SBY terkesan hanya mencari-cari
momen pencitraan.
No comments:
Post a Comment