Beberapa pekan terakhir, laman-laman utama media sosial
dipenuhi dengan aksen pelangi lantaran ada peristiwa besar untuk mereka para
LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Peristiwa besar tersebut
berkaitan dengan tindakan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat melegalkan
pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian melalui keputusan bersejarah pada
Jumat (26/6) lalu.
Sebelumnya, pernikahan sesama jenis hanya legal di 36 negara
bagian. Melalui keputusan 5-4, Mahkamah mencabut larangan pernikahan sesama
jenis yang diterapkan oleh 14 negara bagian. Larangan ini berujung pada
pengajuan kasus Obergefell versus Hodges
agar MA memutuskan keabsahan larangan pernikahan ini.
Hakim Anthony Kennedy menulis opini mayoritas didukung oleh
empat hakim liberal, yaitu Ruth Baden Ginsburg, Stephen Breyer, Elena Kagan,
dan Sonia Sotomayor. Sementara itu, hakim konservatif, termasuk Ketua MA John
Roberts, menulis dissenting opinion yang berbunyi; Pernikahan adalah
hak konstitusional bagi pasangan sesama jenis.
Keputusan ini merupakan kemenangan bagi aktivis kaum gay
yang selama ini mengampanyekan legalisasi pernikahan. Pernikahan sesama jenis
semakin mendapat dukungan dari warga Amerika, terutama kaum muda. Hal ini
tecermin dalam survei terakhir Pew. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 57
persen warga Amerika mendukung pernikahan sesama jenis.
Keputusan ini bahkan disambut baik oleh Presiden AS, Barack
Obama. Melalui akun twitter resminya,
ia mengungkapkan “Hari ini kita mengambil langkah besar di dalam perjuangan
mencapai kesetaraan. Pasangan gay dan lesbian sekarang memiliki hak untuk
menikah seperti siapa pun.”
Keputusan ini menjadi fenomena internasional. Di berbagai
media sosial, jutaan netizen di
seluruh dunia mengungkapkan pendapat pribadinya baik yang pro ataupun kontra.
Kembali ke soal pelangi yang bertebaran di laman media
sosial milik masyarakat Indonesia. Sejak peristiwa pelegalan pernikahan sesama
jenis tersebut, pengidentikan pelangi dengan semua hal yang berbau homoseksual
semakin menjadi. Tapi, menurut saya, yang terjadi saat ini sudah kebablasan. Sebab, saya pribadi menilai
ada sebuah fenomena yang mengarah ke rainbow
phobia.
Masyarakat kita, banyak yang langsung mengkaitkan pelangi
dengan LGBT, apapu dan dimanapun pelangi tersebut. Bahkan, di sejumlah media
sosial mulai muncul page-page anti
homoseksualitas dengan nama yang berbau anti pelangi.
Tidak hanya itu, banyak yang menyebarkan bermacam link dan tulisan yang saya pribadi
merasa tak sepenuhnya benar. Misalnya, tulisan terkait jilbab dan mukena
pelangi sebagai sebuah cara untuk memasyarakatkan LGBT. Lebih parah lagi,
gerakan yang mengkapanyekan penghentian atau boikot pembelian rainbow cake. Untuk soal ini, mungkin
mereka punya alasan.
Demam anti pelangi ini semakin menjadi. Di beberapa titik
muncul arus protes terkait lampu beberapa tugu di Indonesia. Protes itu
didasari banyaknya tugu dan monumen di Indonesia yang memiliki pencahayaan
multiwarna. Para protestan menyebut lampu multiwarna tersebut menyerupai
pelangi. Dianggapnya, pemerintah atau siapapun yang menggunakan lampu tersebut
mendukung LGBT.
Bagi saya, homophobic
atau anti-LGBT bukanlah sebuah persoalan besar. Sebab, pada dasarnya itu adalah
sebuah konsekwensi atas keberagaman preferensi seksual masyarakat. Namun,
jangan sampai homophopic ini memicu
apa yang saya sebut rainbowphobia.
Pelangi, di mata saya tak punya salah apa-apa. Bagi banyak
orang, pelangi adalah gambaran keindahan alam ciptaan yang maha sempurna. Jadi,
jika Anda hendak menghujat, jangan pelangi yang kena. Sebab, semakin pelangi
dihujat, semakin lekat pula ia dengan kaum LGBT.
Lagi pula, pelangi tak bisa begitu saja dikaitkan dengan
mereka yang LGBT. Saya ambil contoh, di Banjarnegara, ada sekelompok orang yang
tergabung dalam Komunitas Pelangi. Jika
Anda menganggap kelompok tersebut sebagai komunitas LGBT maka Anda salah besar.
Sebab, Komunitas Pelangi merupakan sebuah wadah diskusi antar umat beragama di
Banjarnegara. Jadi, jangan anti pelangi...
No comments:
Post a Comment