Wednesday, July 1, 2015

Papan

Sandang, pangan dan papan adalah tiga kebutuhan primer seluruh manusia. Kebutuhan sandang dan pangan mungkin dapat dipenuhi dengan relatif mudah, tapi papan adalah sebuah kebutuhan yang pemenuhannya perlu banyak strategi dan perhitungan.

Pentingnya kebutuhan satu ini bahkan menjadi perhatian pemerintah kita yang luar biasa baik. Baru-baru ini, wakil rakyat berbudi yang duduk di kursi-kursi DPR RI menggagas sebuah regulasi baru yang berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan papan.

Regulasi baru tersebut bertajuk Rancangan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat. Dalam rancangan aturan baru ini, pekerja baik perusahaan swasta maupun mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil akan dibebani sebuah potongan penghasilan model baru. Potongan ini akan dikenakan per bulan.  Dana yang dikumpulkan lewat potongan tersebut akan diakumulasikan dan dijadikan tabungan untuk keperluan pembelian rumah pekerja yang bersangkutan.

Yang harus dicermati, RUU Tapera ini mewajibkan seluruh pekerja swasta dan wiraswasta menjadi peserta Tapera. Kewajiban ini tertuang dalam dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Tapera.

Ada sejumlah syarat untuk menjadi calon peserta yang tercantum dalam pasal 7 ayat 2. Intinya, para pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera adalah mereka yang telah berpenghasilan di atas upah minimum. Selain itu, usia calon peserta minimal 18 tahun atau sudah menikah saat mendaftar sebagai peserta. Dalam rancangan sebelumnya, kewajiban menjadi peserta Tapera diutamakan kepada pekerja yang berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.

Nah, RUU Tapera menetapkan besaran iuran tabungan perumahan sebesar 3 persen dari upah setiap bulan. Batas maksimal basis gaji yang dipungut iuran itu adalah 20 kali dari upah minimum. Dari porsi iuran itu, sebesar 2,5 persen akan ditanggung pekerja, dan 0,5 persen  ditanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja.

Kendati wajib membayar iuran, pekerja tidak bisa seenaknya memanfaatkan tabungan tersebut. Pasal 23 ayat 2 RUU Tapera menyatakan, peserta hanya bisa memanfaatkan tabungannya untuk membiayai pembelian rumah, pembangunan, dan perbaikan rumah hanya satu kali selama menjadi peserta Tapera.

Yoseph Umar Hadi, inisiator sekaligus mantan Ketua Panitia Khusus RUU Tapera mengatakan, tujuan DPR menginisiasi RUU Tapera ini adalah untuk memberikan instrumen efektif bagi pemerintah dalam mengatasi kekurangan pasokan rumah (backlog) yang saat ini mencapai sekitar 15 juta unit.

Dilihat dari permukaan, RUU tersebut mungkin terkesan sebagai program yang baik bagi golongan karyawan yang belum memiliki hunian. Dilihat lebih mendalam, ada satu hal yang cukup aneh dengan RUU ini. Sebab, untuk kebutuhan rumah, angka 3 persen terlihat sangat kecil. Mari kita berhitung. Asumsikan upah pegawai di Banyumas raya sebesar dua kali UMK, yakni sekitar Rp 2 juta.

Dari jumlah ini, setiap karyawan akan menyetorkan dana sekitar Rp 60 ribu per bulan. Dengan begitu, Tapera karyawan di Banyumas pada umumnya hanya akan mencapai angka Rp 720 ribu per tahun.

Jika seorang karyawan konsisten menyetorkan Tapera selama 10 tahun, dengan asumsi kenaikan gaji 15 persen per tahun (sesuai UU Ketenagakerjaan), maka tabungannya baru berjumlah Rp 8.280.000. Dengan angka sebesar ini, saya pribadi tidak yakin seseorang dapat memperoleh rumah. Bahkan, jika kita mengesampingkan variabel inflasi dan penurunan nilai uang, angka tersebut pun tak akan cukup untuk biaya DP perumahan, yang murah sekalipun. Sekarang ini, rata-rata DP perumahan non subsidi berkisar antara Rp 15-25 juta untuk ukuran rumah 36-72. Dengan nilai sebesar itu, karyawan harus menabung selama 20 tahun untuk keperluan DP saja. 

Sampai titik ini, Anda seharusnya sudah mulai mempertanyakan arah kebijakan pemerintah yang tengah digodok ini.

Mari kita lihat sisi lain regulasi tabungan perumahan satu ini. Sebagai potongan wajib yang dibebankan pada karyawan setiap bulan, siapapun yang nantinya mengelola dana ini akan mendapatkan input dana dengan jumlah sangat besar.

Dilihat secara kasat mata, dengan potensi dana yang terkumpul dari iuran Tapera mencapai puluhan triliun Rupiah per tahun. Pertanyaan besarnya adalah, siapa yang akan mengelola dana sebanyak itu?

Kabarnya, pemerintah akan membentuk sebuah badan baru. Nah, badan baru hanya bisa berarti satu hal, tambahan pegawai baru yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berapa jumlahnya, Anda kira-kira saja sendiri. Yang jelas, dengan adanya badan pengelola Tapera ini, miliaran atau bahkan trilunan rupiah uang pajak rakyat akan disedot hanya untuk sektor belanja pegawai saja. Di sisi lain, badan Khusus Tapera pun berpotensi bertabrakan dengan BPJS Ketenagakerjaan yang akan masuk program perumahan pekerja.


Jika masalah badan sudah bisa kita kesampingkan, maka mari kita melangkah ke potensi masalah lain. Dengan asupan dana triliunan Rupiah per tahun, jika tidak diawasi penggunaannya, iuran ini hanya menjadi sumber penyelewengan. Dengan asumsi semacam ini, RUU Tapera yang kemungkinan tidak akan memberikan manfaat bagi karyawan malah membuka ruang berkarya baru bagi babi-babi koruptor Indonesia. 

No comments:

Post a Comment