Sandang, pangan
dan papan adalah tiga kebutuhan
primer seluruh manusia. Kebutuhan sandang dan pangan mungkin dapat dipenuhi
dengan relatif mudah, tapi papan adalah sebuah kebutuhan yang pemenuhannya
perlu banyak strategi dan perhitungan.
Pentingnya kebutuhan satu ini bahkan menjadi perhatian
pemerintah kita yang luar biasa baik. Baru-baru ini, wakil rakyat berbudi yang
duduk di kursi-kursi DPR RI menggagas sebuah regulasi baru yang berkaitan erat
dengan pemenuhan kebutuhan papan.
Regulasi baru tersebut bertajuk Rancangan Undang-undang Tabungan
Perumahan Rakyat. Dalam rancangan aturan baru ini, pekerja baik perusahaan
swasta maupun mereka yang berstatus Pegawai Negeri Sipil akan dibebani sebuah
potongan penghasilan model baru. Potongan ini akan dikenakan per bulan. Dana yang dikumpulkan lewat potongan tersebut
akan diakumulasikan dan dijadikan tabungan untuk keperluan pembelian rumah
pekerja yang bersangkutan.
Yang harus dicermati, RUU Tapera ini mewajibkan seluruh
pekerja swasta dan wiraswasta menjadi peserta Tapera. Kewajiban ini tertuang
dalam dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU Tapera.
Ada sejumlah syarat untuk menjadi calon peserta yang
tercantum dalam pasal 7 ayat 2. Intinya, para pekerja yang wajib menjadi
peserta Tapera adalah mereka yang telah berpenghasilan di atas upah minimum. Selain
itu, usia calon peserta minimal 18 tahun atau sudah menikah saat mendaftar
sebagai peserta. Dalam rancangan sebelumnya, kewajiban menjadi peserta Tapera
diutamakan kepada pekerja yang berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.
Nah, RUU Tapera menetapkan
besaran iuran tabungan perumahan sebesar 3 persen dari upah setiap bulan. Batas
maksimal basis gaji yang dipungut iuran itu adalah 20 kali dari upah minimum.
Dari porsi iuran itu, sebesar 2,5 persen akan ditanggung pekerja, dan 0,5
persen ditanggung oleh perusahaan atau
pemberi kerja.
Kendati wajib membayar iuran, pekerja tidak bisa seenaknya
memanfaatkan tabungan tersebut. Pasal 23 ayat 2 RUU Tapera menyatakan, peserta
hanya bisa memanfaatkan tabungannya untuk membiayai pembelian rumah, pembangunan,
dan perbaikan rumah hanya satu kali selama menjadi peserta Tapera.
Yoseph Umar Hadi, inisiator sekaligus mantan Ketua Panitia
Khusus RUU Tapera mengatakan, tujuan DPR menginisiasi RUU Tapera ini adalah
untuk memberikan instrumen efektif bagi pemerintah dalam mengatasi kekurangan
pasokan rumah (backlog) yang saat ini mencapai sekitar 15 juta unit.
Dilihat dari permukaan, RUU tersebut mungkin terkesan sebagai
program yang baik bagi golongan karyawan yang belum memiliki hunian. Dilihat
lebih mendalam, ada satu hal yang cukup aneh dengan RUU ini. Sebab, untuk
kebutuhan rumah, angka 3 persen terlihat sangat kecil. Mari kita berhitung.
Asumsikan upah pegawai di Banyumas raya sebesar dua kali UMK, yakni sekitar Rp
2 juta.
Dari jumlah ini, setiap karyawan akan menyetorkan dana
sekitar Rp 60 ribu per bulan. Dengan begitu, Tapera karyawan di Banyumas pada
umumnya hanya akan mencapai angka Rp 720 ribu per tahun.
Jika seorang karyawan konsisten menyetorkan Tapera selama 10
tahun, dengan asumsi kenaikan gaji 15 persen per tahun (sesuai UU
Ketenagakerjaan), maka tabungannya baru berjumlah Rp 8.280.000. Dengan angka
sebesar ini, saya pribadi tidak yakin seseorang dapat memperoleh rumah. Bahkan,
jika kita mengesampingkan variabel inflasi dan penurunan nilai uang, angka tersebut
pun tak akan cukup untuk biaya DP perumahan, yang murah sekalipun. Sekarang
ini, rata-rata DP perumahan non subsidi berkisar antara Rp 15-25 juta untuk
ukuran rumah 36-72. Dengan nilai sebesar itu, karyawan harus menabung selama 20
tahun untuk keperluan DP saja.
Sampai titik ini, Anda seharusnya sudah mulai
mempertanyakan arah kebijakan pemerintah yang tengah digodok ini.
Mari kita lihat sisi lain regulasi tabungan perumahan satu
ini. Sebagai potongan wajib yang dibebankan pada karyawan setiap bulan,
siapapun yang nantinya mengelola dana ini akan mendapatkan input dana dengan
jumlah sangat besar.
Dilihat secara kasat mata, dengan potensi dana yang
terkumpul dari iuran Tapera mencapai puluhan triliun Rupiah per tahun. Pertanyaan
besarnya adalah, siapa yang akan mengelola dana sebanyak itu?
Kabarnya, pemerintah akan membentuk sebuah badan baru. Nah, badan baru hanya bisa berarti satu
hal, tambahan pegawai baru yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berapa
jumlahnya, Anda kira-kira saja sendiri. Yang jelas, dengan adanya badan
pengelola Tapera ini, miliaran atau bahkan trilunan rupiah uang pajak rakyat
akan disedot hanya untuk sektor belanja pegawai saja. Di sisi lain, badan
Khusus Tapera pun berpotensi bertabrakan dengan BPJS Ketenagakerjaan yang akan
masuk program perumahan pekerja.
Jika masalah badan sudah bisa kita kesampingkan, maka mari
kita melangkah ke potensi masalah lain. Dengan asupan dana triliunan Rupiah per
tahun, jika tidak diawasi penggunaannya, iuran ini hanya menjadi sumber
penyelewengan. Dengan asumsi semacam ini, RUU Tapera yang kemungkinan tidak
akan memberikan manfaat bagi karyawan malah membuka ruang berkarya baru bagi
babi-babi koruptor Indonesia.
No comments:
Post a Comment